A. Hal-hal
yang dilarang ketika haid
1)
Shalat
Wanita yang sedang haid dan nifas
diharamkan menjalankan shalat secara mutlak, meskipun hanya shalat jenazah,
sujud tilawah maupun sujud syukur, dan mereka menurut kesepakatan ulama tidak
wajib mengqadhanya.
Kalangan ahli fiqh berbeda pendapat
mengenai wanita yang suci dari haid dan nifas setelah ashar dan setelah isya.
Kalangan ulama mazhab Syafi’i, mazhab Hanbali, dan lainnya berpendapat bahwa
keduanya harus melaksanakan shalat dzuhur dan ashar apabila suci pada waktu
ashar, dan wajib melaksanakan sahlat
maghrib dan isya ketika suci pada waktu isya.
Sedangkan
Al-Hasan, Qatadah, Ats-Tsauri, dan kalangan ulama mazhab Hanafi berpendapat
bahwa mereka tidak wajib melaksanakan shalat zhuhur maupun maghrib. Sementara
kalangan ulama mazhab Maliki membuat rincian: Jika darah haid dan udzur-udzur
lain yang sejenis berhenti setelah ashar atau setelah isya sementara setelah
bersuci waktu shalat masih ada dan cukup untuk melaksanakan shalat yang
pertama, yaitu zhuhur atau maghrib serta cukup pula untuk melaksanakan satu
rakaat shalat yang kedua, yaitu ashar atau isya maka ia wajib melaksanakan
kedua-duanya yaitu zhuhur dan ashar atau maghrib dan isya. Jika tidak, dalam
artian waktu yang ada hanya cukup untuk melaksanakan shalat yang kedua saja,
yakni shalat ashar atau isya atau hanya cukup menjalankan satu rakaat saja maka
shalat yang pertama, yaitu zhuhur maupun maghrib tidak wajib dilaksanakan.
2)
Puasa
Wanita yang sedang haid dan nifas juga
dilarang menjalankan puasa, meskipun hanya puasa sunnah, menurut kesepakatan
ulama, merujuk sabda Rasulullah saw. dalam hadis narasi Abu Sa’id Al-Khudri
saat menjelaskan kekuraangan agama perempuan: “Bukankah jika haid ia tidak
shalat dan tidak puasa?” Para sahabat wanita menukas, “Benar” Rasulullah saw.
menimpal, “Itulah salah satu kekurangan agamanya.”
Meski
demikian, haid dan nifas tidak menghalangi kewajiban puasa, sehingga keduanya
tetap wajib mengqadha puasa yang ditinggalkannya selama haid dan nifas. Berbeda
halnya dengan shalat yang tidak wajib mereka qadha, merujuk penuturan Mu’adzah
Al-Adawiyyah: Aku pernah bertanya pada Aisyah, “Mengapa orang haid harus mengqadha
puasa, namun tidak wajib mengqadha shalat?” Ia menjawab, “Hal itu juga terjadi
pada kami bersama Rasulullah saw. lalu kami diperintahkan untuk mengqadha dan
tidak diperintahkan untuk mengqadha shalat.”
Para
ulama telah berijma’ bahwa wanita yang sedang haid maupun nifas wajib mengqadha
puasa tetapi tidak wajib mengqadha shalat. Hikmah yang terkandung di dalamnya
adalah karena shalat dilakukan berulang-ulang, sementara puasa tidak, sehingga
jika qadha shalat diwajibkan bagi keduanya maka akan menimbulkan masyaqqah
(kesulitan), padahal Allah telah berfirman, dan Dia sekali-kali tidak
menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (QS. Al-Hajj (22): 78)
Hal ini berbeda dengan puasa yang hanya diwajibkan sekali dalam satu tahun,
sehingga puasa yang ditinggalkan selama haid dan nifas hanya dalam bilangan
hari saja, dan karenanya tidak terlalu menyulitkan jika harus diqadha.
3)
Thawaf
Wanita yang haid maupun nifas tidak
diperbolehkan melaksanakan thawaf mengelilingi ka’bah, meskipun hanya thawaf
sunnah. Hal ini merujuk pada hadis narasi Aisyh ra. ia bercerita: Nabi Muhammad
saw. menemuiku saat aku sedang menangis, maka beliau pun bertanya, “Apakah kamu
haid?” Aku jawab, “Iya.” Beliau pun bersabda, “Itu adalah sesuatu yang telah
ditetapkan Alah atas wanita keturunan Adam. Lanjutkanlah amalan haji, hanya
saja jangan thawaf sampai kamu mandi.”
Dasar yang menjadi acuan lainnya adalah
hadis narasi Ibnu Abbas terdahulu, bahwasanya Nabi saw. bersabda:
الطَّوَّافُ صَلاَةٌ
إِلَّا أَنْ اللهَ تَعَالَى أَحَلَّ فِيْهِ الكَلَّام, فَمَنْ يَتَكَلَّمُ إِلَّا
بِخَيْرٍ
Thawaf
adalah shalat, hanya saja Allah memperbolehkan berbicara selama menjalaninya,
maka barangsiapa yang berbicara hendaklah ia berbicara yang baik-baik.
Aisyah
berkata kepada Rasulullah saw., “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Shafiyyah binti
Huyy telah mendapatkan haid.”
Maka
Rasulullah saw. bersabda, “Bisa jadi dia akan menahan kita di sini lebih lama. Bukankah dia melakukan
thawaf bersama kalian?”
Mereka
menjawab, “Benar”.
Rasulullah
saw. pun bersabda, “Kalau begitu, hendaklah dia keluar dari barisannya.”
(HR. Bukhari, hadis sahih)
4)
Masuk
Masjid
Wanita yang haid dan nifas juga dilarang
memasuki masjid, meskipun hanya sekadar lewat tanpa berdiam diri di dalamnya
dan tanpa kebutuhan yang mendesak (darurat). Pendapat ini dianut oleh kalagan
ulama mazhab Hanafi dan Maliki dengan mengqiyaskannya pada larangan serupa atas
orang yang junub dalam ayat junub.
Adapun Imam Asy-Syafi’i dan Ahmad
memperbolehkan wanita yang haid dan nifas untuk melewati masjid jika memang
darahnya tidak mengotori masjid, merujuk pada firman Allah: Sedang kamu
dalam keadaan junub, terkecuali sekadar berlalu saja, hingga kamu mandi.
(QS. An-Nisa’ (4): 43)
Argumentasi ini dibantah oleh kelompok
pertama, bahwa yang dimaksud adalah (bahwa oarang yang sekadar berlalu saja
juga dilarang shalat). Yang menjadi pangkal perselisihan sesungguhnya adalah
jika lewat tanpa ada kebutuhan. Jika ada kebutuhan maka menurut kesepakataan
ulama tidak diharamkan lewat masjid.
5)
Membaca
Alquran
Wanita yang haid diharamkan membaca
Alquran dengan niatan membaca, meskipun hanya sebagian ayat saja, merujuk pada
hadis terdahulu yang diriwayatkan dari Ibnu Umar, bahwasanya Nabi saw.
bersabda:
لا يقرأ الحائض
ولا الجنب شيئا من القرأن
Hendaklah orang yang haid maupu
junub tidak membaca Alquran sedikitpun.
Secara
umum, hadis ini satu ayat Alquran ada di bawahnya. Pendapat ini diusung oleh
kalangan ulama mazhab Hanafi.
Sementara
itu, kalangan ulama mazhab Maliki berpendapat bahwa wanita yang haid dan nifas
tetap boleh membaca Alquran, meskipun tidak ada kekhawatiran lupa akan ayat
Alquran. Mereka membantah argumentasi kelompok pertama dengan menyatakan bahwa
hadis narasi Ibnu Umar tersebut dha’if (lemah), sebab ia berasal dari riwayat Ibnu Ayyasy dari Musa bin
Uqbah. Perawi yang disebut terakhir adalah orang Hijaz dan riwayatnya dari
orang-orang Hijaz lemah dan tidak dapat dijadikan sebagai pegangan hukum.
Pangkal
perselisihan kedua kelompok ini sebenarnya terletak pada kasus jika wanita yang
haid adan nifas membaca Alquran dengan niat membaca. Adapun jika ia membaca
dengan niat dzikir, memuji, berdoa atau untuk membentengi diri, atau untuk
iftitah (membuka suatu perkara), maka mereka sepakat memperbolehkannya,
meskipun yang dibaca mengandung ayat Alquran.
Adapun
pendapat yang rajih adalah pendapat yang dikatakan oleh kalagan ulama mazhab
Maliki, dan pendapat ini dinyatakan pula oleh Al-Bukhari, Ath-Thabari, Dawud
Azh-Zhahiri, dan Ibnu Hazm. Al Bukhari mengatakan: “Ibrahim (An-Nakha’i) bahkan
berpendapat bahwa orang haid boleh membaca satu ayat Alquran. Ibnu Abbas juga
berpendapat bahwa tidak masalah jika orang yang junub membaca Alquran, karena
Nabi saw. selalu berdzikir dalam kondisi apa pun.
6) Memegang
dan Membawa Sesuatu yang Memuat Alquran
Wanita yang haid dan nifas dilarang
membawa sesuatu yang memuat ayat Alquran, meskipun berupa lembaran kertas, uang
maupun yang tertulis di dinding (misalnya lukisan kaligrafi Alquran), tanpa
adanya kebutuhan yang mendesak (darurat). Ketentuan ini menjadi pendapat resmi
keempat imam mazhab, merujuk hadis Al-Hakim bin Hizam, bahwasanya Nabi saw.
bersabda:
لا يمس القرأن
إلا وأنت الطاهر
Janganlah
kau sentuh Alquran kecuali kau dalam keadaan suci.
Hal ini berlaku jika tidak ada darurat.
Adapun jika dalam kondisi darurat, maka ia boleh memegang dan membawanya,
misalnya jika khawatir benda yang mengandung Alquran tersebut akan terbakar,
tenggelam, atau terkena najis. “Tidak
akan menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan” (QS. Al-Waqi;ah:79)
7)
Berhubungan
Badan
Wanita yang sedang haid dan nifas haram
disetubuhi, baik dengan penetrasi (coitus) maupun hanya di daerah antara pusar
dan lutut. Keharaman menyetubuhi wanita yang sedng haid dan nifas ini dengan
melakukan penetrasi ke dalam vagina ditetapkan berdasarkan Alquran, sunnah, dan
ijma’.
Dalil Alquran yang dijadikan landasan
adalah firman Allah: dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka
suci. (QS. Al-Baqarah (2): 222) Adapun dalil dari sunnah adalah narasi
Anas, bahwa menurut tradisi orang-orang Yahudi jika seorang wanita mengalami
haid, maka mereka mengusirnya dari rumah tanpa memberinya makan maupun minum,
dan tidak menyenggamainya di dalam rumah. Ketika Nabi saw. diminta konfirmasi
mengenai hal tersebut, serta-merta turunlah ayat:
وَيَسْأَلُونَكَ
عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلَا
تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ
أَمَرَكُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ
الْمُتَطَهِّرِينَ
Mereka bertanya kepadamu tentang haid.
Katakanlah: “Haid itu adalah suatu kotoran”. Oleh sebab itu, hendaklah kamu
menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka,
sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di
tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.
(QS. Al-Baqarah (2): 222)
Nabi
saw. pun kemudian bersabda, Berbuatlah apa saja dengannya kecuali hubungan
seksual.
Imam An-Nawawi menjelaskan: Jika ada
orang muslim yang meyakini bahwa menyenggamai wanita yang sedang haid di
kemaluannya adalah halal, maka ia telah kafir dan murtad dari Islam. Akan
tetapi, jika ia melakukannya tanpa menyakini kehalalannya, atau menghalalkannya
karena lupa, atau karena tidak tahu keharamannya maka ia tidak berdosa dan juga
tidak terkena kaffarat (denda). Adapun jika ia menyetubuhinaya secara
sengaja, atas inisiatif sendiri dan ia sudah mengetahui keharamanya, maka ia
telah melakukan perbuatan dosa besar, dan menurut kesepakatan ulama ia wajib
bertaubat. Bahkan menurut mayoritas ahli fiqh ia juga disunnahkan untuk
bersedekah satu dinar jika pada saat bersetubuh darah haid berwarna hitam, dan
bersedekah setengah dirham jika darahnya berwarna kuning. Ketentuan ini
dinyatakan oleh kalangan ulama mazhab Hanafi, Maliki, Imam Asy-Syafi’i dalam
versi riwayat yang paling shahih, dan Ahmad, berdasarkan hadis narasi Ibnu
Abbas bahwasanya Nabi saw. bersabda pada orang yan menyenggamai istrinya
sewaktu ia sedang haid agar ia bersedekah satu dinar atau setengah dinar.
Sedangkan
menurut Ibnu Ayyasy, Al-Auza’i, Ishaq (bin Rahawaih), Imam Ahmad dalam versi
riwayat yang lain, dan Imam Asy-Syafi’i dalam qaul qadim, pelaku wajib -tidak
sunnah- bersedekah menurut ketentuan yang telah disebutkan.
Pertama,
haram. Hal ini dinyatakan oleh Imam Abu Hanifah, Abu Yusuf, Imam Malik, Sa’id
bin Al-Musayyab, Thawus, Atha’, dan kalangan ulama mazhab Syafi’i dalam versi
yang shahih.
Mereka
berpegang pada dalil-dalil sebagai berikut.
a. Hadis narasi Abdullah bin Said,
bahwasanya ia pernah bertanya pada Rasulullah saw. “Apa yang halal bagiku dari
istriku ketika ia sedang haid?” Beliau menjawab, “Kau boleh mencumbunya di atas
izar (kain bawahan –di atas pusar).”
b. Haid narasi Zaid bin Aslam, bahwasanya
ada seorang laki-laki yang bertanya pada Nabi saw. “Apa yang halal bagiku dari
istriku ketika ia sedang haid?” Beliau menjawab, “Hendaklah ia mengencangkan
kain bawahannya, dan kau boleh menikmati bagian atasnya.” (Dilansir oleh Malik
dan Ad-Darimi).
Jika laki-laki diharamkan mencumbu
istrinya yang sedang haid di bagian pusar ke bawah maka si istri juga
diharamkan memberikan peluang kepada suaminya untuk mencumbunya di daerah tersebut,
apalagi ia aktif mencumbui sang suami dengan bagian tubuhnya di bawah pusar.
Kedua,
boleh, namun makruh tanzih. Hal ini dinyatakan oleh Ats-Tsauri,
Al-Auza’i, Imam Ahmad, Abu Dawud Azh-Zhahiri, Muhammad bin Hasan, dan Asbagh
Al-Maliki, merujuk sabda Rasulullah saw. “Berbuatlah apa saja dengannya
kecuali hubungan seksual.” Argumentasinya ini ditanggapi kelompok pertama
bahwa ini memang membolehkan, namun dalil yang mereka kemukakan melarang, dan
–menurut ketentuan teori hukum Islam sesuatu yang melarang didahulukan daripada
sesuatu yang membolehkan.
Ketiga,
kondisional. Artinya, jika suami mampu mengendalikan dirinya untuk tidak
melakukan penetrasi ke dalam vagina maka ia diperbolehkan. Namun, jika tidak
mampu maka ia tidak diperbolehkan.
B. Hal-hal
yang disunnahkan
Maka
tampak jelas sebenarnya ada banyak amalan yang tidak terlarang untuk dilakukan.
Seperti antara lain:
1.
Berdzikir
Hakikat sholat adalah untuk berdzikir kepada Allah. Tapi larangan sholat
tidak berarti terlarang untuk berdzikir kepada Allah. Berdzikir bisa menjadi
amalan pengganti sholat agar kita bisa mendulang pahala sebanyak-banyaknya saat
haid. Berdzikir sendiri diperlukan oleh wanita haid karena wanita yang sedang
berhalangan biasanya memiliki mood yang tidak stabil. Dengan dzikir, maka hati
akan tenang. Sehingga ketidak-stabilan mood bisa diredam.
2.
Bersedekah dan Memberi
Makan Orang Miskin
Haid
menghalangi muslimah untuk berpuasa. Penggantinya, bisa saja kita membatalkan
“puasa” orang miskin yang lapar karena ketidak-punyaannya. Hikmah puasa salah
satunya adalah agar kita merasakan apa yang dirasakan oleh orang yang tidak
punya. Dengan begitu, akan memicu diri kita untuk bersimpati dan mencoba
berbagi dengan mereka. Bila kita terbiasa berpuasa sunnah, maka saat haid kita
bisa mengaplikasikan hikmah puasa tersebut.
3.
Menjaga Kebersihan
Karena
hadits yang sudah kita hafal, bahwa kebersihan itu sebagian dari iman, maka
tidak ada alasan untuk tetap menjaga kebersihan saat mandi wajib dan berwudhu’
terlarang. Mandi biasa yang tidak diniatkan untuk membersihkan hadats besar
tentu tidak terlarang dilakukannya. Dan mandi yang asal hukumnya mubah itu
tentu bisa menjadi berpahala manakala kita niatkan untuk beribadah kepada
Allah. Karena itu, menjaga niat menjadi penting. Selalu hadirkan niat kebaikan pada
amalan-amalan mubah sekalipun, agar kita selalu mendulang pahala.
4. Belajar ilmu agama
Seperti membaca buku-buku Islam. Sekalipun di sana ada kutipan ayat Al-Quran,
namun para ulama sepakat itu tidak dihukumi sebagaimana Al-Quran, sehingga
boleh disentuh.
5.
Mendengarkan ceramah, bacaan Al-Quran atau semacamnya.