Selasa, 21 Maret 2023

 Berkata yang Baik


Mengaji ( ilmu bermanfaat)   ▶ Ada Perubahan ▶ Akhlak Baik (Sedekah, Sabar,  Berkata baik) 


Jika Allah yang menyuruh, maka kita rela.

 

Mencari Ridho Allah. 


1) Tauhid yang lurus 
2) berbuat baik kepada orang tua, apabila orang tua sudah meninggal, sholehkan diri kita, agar pahala mengalir ke beliau. 
3) berbuat baik kepada : orang tua, kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin.
4) bertutur katalah yang baik kepada manusia, laksanakanlah shalat, dan tunaikan zakat. 


🍀Do'a minta agar bisa berbicara yang baik, apabila tidak bisa, berdoa agar diam yang senantiasa mengambil pelajaran, tidak salah ketika berbicara, dan tidak menyakiti orang lain. 


🍁Berfikir dahulu sebelum berbicara! 


🌱Apabila marah lalu diam, kebaikan tetap terjaga. 


🌾Orang kuat adalah orang yang bisa menahan amarah. 


🍀Jika ingin dimaklumi ketika kita berbuat salah, maka maklumi orang lain ketika berbuat salah. 


Senin, 20 Maret 2023

Kiat Menggapai Husnul Khatimah


Taqwa: 

Diberi jalan keluar atau solusi

Rezeki

Proses segala urusan mudah

Menutup Pintu-Pintu Syetan

Menutup Pintu-Pintu Syetan


Bahagia 

Menjadi sebab bukan akibat 

Maka bahagia apapun situasinya.


Tidak menua tapi mendewasa 

"Maturing bukan aging"

Pikiran tetap muda.


🍃Pintu masuk setan ada di kita 

🌾Pemutus terakhir setiap kegiatan adalah kita. 

🍂Kesalahan ada pada diri kita sendiri. 

Jika hanya menyalahkan orang lain, maka kita tidak akan berubah.


Pintu Setan:

1. Hasad (menginginkan sesuatu yang dimiliki orang lain, iri dengan yang dimiliki orang lain, karena kita tidak ridho atas apa yg Allah berikan) dan tamak (selalu merasa kita kurang) 

Yang kita butuhkan menetapkan standar cukup untuk kita.

Orang Zuhud orang yang tidak ditundukkan dunia.

Tidak merasa besar dibandingkan orang lain.

2. Marah-marah

Jangan marah-marah bagimu surga.

Marah = respons psikologis karena tidak sesuai ekspektasi.

Marah-marah dapat merusak akal kita.

Tidak ada yang terjadi setelah marah kecuali penyesalan.

Jika marah maka ta'awudz. 

Jika marah hendaklah diam. 

3. Menghias-hiasi tempat tinggal, parabotan, dan kendaraan

Sehingga menghabiskan usia untuk mengurusi hal itu.

Isilah rumah dengan yang penting-penting saja.

Ingat semua ada hisabnya!

Kepo/curious (ingin tahu/ mudah penasaran) status orang, ini pintu masuk hipnotis (copy writing, promosi dan lain-lain menggunakan hypnotic language) model ketakutan tidak kebagian seperti saat makan secara prasmanan.

4. Terlalu Kenyang

Jika perut kita banyak makanan maka akan menyedot darah lebih banyak. 

Lambung butuh darah untuk beroperasi, sehingga darah di otak dikurangi.

5. Berlebihan Memuji Orang Lain

Sehingga tidak tahu hal baik dan munkar.

6. Tergesa-gesa dan tidak bersabar

tidak bersabar pada proses, sehingga mudah berputus asa jika tidak tercapai dan marah-marah.

Bahkan berangkat ke masjid tidak boleh lari. 

Tergesa-gesa dari setan. 

Berputus asa dari kasih sayang Allah itu kafir.

7. Cinta Harta

Mencari harta dengan cara apapun, sehingga bakhil, enggan bersedekah, dan lain-lain.

8. Fanatisme terhadap golongan tertentu

Tidak mau beramal jika tidak dari golongannya.

Sehingga merasa paling benar dan menganggap orang lain salah. 

9. Memikirkan zat Allah secara berlebihan

Hindari membahas zat Allah 

10. Berburuk sangka

Sehingga kita merendahkan orang lain 

Sombong = menolak kebenaran dan merendahkan orang lain.

Sombong itu jubah Allah.

Maka selalu husnudzon, jika melihat keburukan orang lain, maka carilah 70 alasan kebaikan darinya. 

Lihatlah orang lebih tinggi kebaikannya (amal ibadah) dari pada kita. 

Senin, 04 Maret 2019

Hal-hal yang dilarang dan disunahkan ketika Haid dan Nifas

      A.   Hal-hal yang dilarang ketika haid
 1)     Shalat
Wanita yang sedang haid dan nifas diharamkan menjalankan shalat secara mutlak, meskipun hanya shalat jenazah, sujud tilawah maupun sujud syukur, dan mereka menurut kesepakatan ulama tidak wajib mengqadhanya.
Kalangan ahli fiqh berbeda pendapat mengenai wanita yang suci dari haid dan nifas setelah ashar dan setelah isya. Kalangan ulama mazhab Syafi’i, mazhab Hanbali, dan lainnya berpendapat bahwa keduanya harus melaksanakan shalat dzuhur dan ashar apabila suci pada waktu ashar, dan wajib melaksanakan sahlat  maghrib dan isya ketika suci pada waktu isya.
Sedangkan Al-Hasan, Qatadah, Ats-Tsauri, dan kalangan ulama mazhab Hanafi berpendapat bahwa mereka tidak wajib melaksanakan shalat zhuhur maupun maghrib. Sementara kalangan ulama mazhab Maliki membuat rincian: Jika darah haid dan udzur-udzur lain yang sejenis berhenti setelah ashar atau setelah isya sementara setelah bersuci waktu shalat masih ada dan cukup untuk melaksanakan shalat yang pertama, yaitu zhuhur atau maghrib serta cukup pula untuk melaksanakan satu rakaat shalat yang kedua, yaitu ashar atau isya maka ia wajib melaksanakan kedua-duanya yaitu zhuhur dan ashar atau maghrib dan isya. Jika tidak, dalam artian waktu yang ada hanya cukup untuk melaksanakan shalat yang kedua saja, yakni shalat ashar atau isya atau hanya cukup menjalankan satu rakaat saja maka shalat yang pertama, yaitu zhuhur maupun maghrib tidak wajib dilaksanakan.

2)   Puasa
Wanita yang sedang haid dan nifas juga dilarang menjalankan puasa, meskipun hanya puasa sunnah, menurut kesepakatan ulama, merujuk sabda Rasulullah saw. dalam hadis narasi Abu Sa’id Al-Khudri saat menjelaskan kekuraangan agama perempuan: “Bukankah jika haid ia tidak shalat dan tidak puasa?” Para sahabat wanita menukas, “Benar” Rasulullah saw. menimpal, “Itulah salah satu kekurangan agamanya.”
Meski demikian, haid dan nifas tidak menghalangi kewajiban puasa, sehingga keduanya tetap wajib mengqadha puasa yang ditinggalkannya selama haid dan nifas. Berbeda halnya dengan shalat yang tidak wajib mereka qadha, merujuk penuturan Mu’adzah Al-Adawiyyah: Aku pernah bertanya pada Aisyah, “Mengapa orang haid harus mengqadha puasa, namun tidak wajib mengqadha shalat?” Ia menjawab, “Hal itu juga terjadi pada kami bersama Rasulullah saw. lalu kami diperintahkan untuk mengqadha dan tidak diperintahkan untuk mengqadha shalat.”
Para ulama telah berijma’ bahwa wanita yang sedang haid maupun nifas wajib mengqadha puasa tetapi tidak wajib mengqadha shalat. Hikmah yang terkandung di dalamnya adalah karena shalat dilakukan berulang-ulang, sementara puasa tidak, sehingga jika qadha shalat diwajibkan bagi keduanya maka akan menimbulkan masyaqqah (kesulitan), padahal Allah telah berfirman, dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (QS. Al-Hajj (22): 78) Hal ini berbeda dengan puasa yang hanya diwajibkan sekali dalam satu tahun, sehingga puasa yang ditinggalkan selama haid dan nifas hanya dalam bilangan hari saja, dan karenanya tidak terlalu menyulitkan jika harus diqadha.
 
3)    Thawaf
Wanita yang haid maupun nifas tidak diperbolehkan melaksanakan thawaf mengelilingi ka’bah, meskipun hanya thawaf sunnah. Hal ini merujuk pada hadis narasi Aisyh ra. ia bercerita: Nabi Muhammad saw. menemuiku saat aku sedang menangis, maka beliau pun bertanya, “Apakah kamu haid?” Aku jawab, “Iya.” Beliau pun bersabda, “Itu adalah sesuatu yang telah ditetapkan Alah atas wanita keturunan Adam. Lanjutkanlah amalan haji, hanya saja jangan thawaf sampai kamu mandi.”
Dasar yang menjadi acuan lainnya adalah hadis narasi Ibnu Abbas terdahulu, bahwasanya Nabi saw. bersabda:
                       
            الطَّوَّافُ صَلاَةٌ إِلَّا أَنْ اللهَ تَعَالَى أَحَلَّ فِيْهِ الكَلَّام, فَمَنْ يَتَكَلَّمُ إِلَّا بِخَيْرٍ
            Thawaf adalah shalat, hanya saja Allah memperbolehkan berbicara selama menjalaninya, maka barangsiapa yang berbicara hendaklah ia berbicara yang baik-baik.          
Aisyah berkata kepada Rasulullah saw., “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Shafiyyah binti Huyy telah mendapatkan haid.”
  Maka Rasulullah saw. bersabda, “Bisa jadi dia akan menahan kita di  sini lebih lama. Bukankah dia melakukan thawaf bersama kalian?”
 Mereka menjawab, “Benar”.
 Rasulullah saw. pun bersabda, “Kalau begitu, hendaklah dia keluar dari barisannya.” (HR. Bukhari, hadis sahih)

4)             Masuk Masjid
Wanita yang haid dan nifas juga dilarang memasuki masjid, meskipun hanya sekadar lewat tanpa berdiam diri di dalamnya dan tanpa kebutuhan yang mendesak (darurat). Pendapat ini dianut oleh kalagan ulama mazhab Hanafi dan Maliki dengan mengqiyaskannya pada larangan serupa atas orang yang junub dalam ayat junub.
Adapun Imam Asy-Syafi’i dan Ahmad memperbolehkan wanita yang haid dan nifas untuk melewati masjid jika memang darahnya tidak mengotori masjid, merujuk pada firman Allah: Sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekadar berlalu saja, hingga kamu mandi. (QS. An-Nisa’ (4): 43)
Argumentasi ini dibantah oleh kelompok pertama, bahwa yang dimaksud adalah (bahwa oarang yang sekadar berlalu saja juga dilarang shalat). Yang menjadi pangkal perselisihan sesungguhnya adalah jika lewat tanpa ada kebutuhan. Jika ada kebutuhan maka menurut kesepakataan ulama tidak diharamkan lewat masjid.

5)   Membaca Alquran
Wanita yang haid diharamkan membaca Alquran dengan niatan membaca, meskipun hanya sebagian ayat saja, merujuk pada hadis terdahulu yang diriwayatkan dari Ibnu Umar, bahwasanya Nabi saw. bersabda:
لا يقرأ الحائض ولا الجنب شيئا من القرأن
            Hendaklah orang yang haid maupu junub tidak membaca Alquran sedikitpun.
 Secara umum, hadis ini satu ayat Alquran ada di bawahnya. Pendapat ini diusung oleh kalangan ulama mazhab Hanafi.
  Sementara itu, kalangan ulama mazhab Maliki berpendapat bahwa wanita yang haid dan nifas tetap boleh membaca Alquran, meskipun tidak ada kekhawatiran lupa akan ayat Alquran. Mereka membantah argumentasi kelompok pertama dengan menyatakan bahwa hadis narasi Ibnu Umar tersebut dha’if (lemah), sebab ia berasal    dari riwayat Ibnu Ayyasy dari Musa bin Uqbah. Perawi yang disebut terakhir adalah orang Hijaz dan riwayatnya dari orang-orang Hijaz lemah dan tidak dapat dijadikan sebagai pegangan hukum.
 Pangkal perselisihan kedua kelompok ini sebenarnya terletak pada kasus jika wanita yang haid adan nifas membaca Alquran dengan niat membaca. Adapun jika ia membaca dengan niat dzikir, memuji, berdoa atau untuk membentengi diri, atau untuk iftitah (membuka suatu perkara), maka mereka sepakat memperbolehkannya, meskipun yang dibaca mengandung ayat Alquran.
Adapun pendapat yang rajih adalah pendapat yang dikatakan oleh kalagan ulama mazhab Maliki, dan pendapat ini dinyatakan pula oleh Al-Bukhari, Ath-Thabari, Dawud Azh-Zhahiri, dan Ibnu Hazm. Al Bukhari mengatakan: “Ibrahim (An-Nakha’i) bahkan berpendapat bahwa orang haid boleh membaca satu ayat Alquran. Ibnu Abbas juga berpendapat bahwa tidak masalah jika orang yang junub membaca Alquran, karena Nabi saw. selalu berdzikir dalam kondisi apa pun.

6)     Memegang dan Membawa Sesuatu yang Memuat Alquran
Wanita yang haid dan nifas dilarang membawa sesuatu yang memuat ayat Alquran, meskipun berupa lembaran kertas, uang maupun yang tertulis di dinding (misalnya lukisan kaligrafi Alquran), tanpa adanya kebutuhan yang mendesak (darurat). Ketentuan ini menjadi pendapat resmi keempat imam mazhab, merujuk hadis Al-Hakim bin Hizam, bahwasanya Nabi saw. bersabda:
لا يمس القرأن إلا وأنت الطاهر
Janganlah kau sentuh Alquran kecuali kau dalam keadaan suci.
Hal ini berlaku jika tidak ada darurat. Adapun jika dalam kondisi darurat, maka ia boleh memegang dan membawanya, misalnya jika khawatir benda yang mengandung Alquran tersebut akan terbakar, tenggelam, atau terkena najis. “Tidak akan menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan” (QS. Al-Waqi;ah:79)

7)    Berhubungan Badan
Wanita yang sedang haid dan nifas haram disetubuhi, baik dengan penetrasi (coitus) maupun hanya di daerah antara pusar dan lutut. Keharaman menyetubuhi wanita yang sedng haid dan nifas ini dengan melakukan penetrasi ke dalam vagina ditetapkan berdasarkan Alquran, sunnah, dan ijma’.
Dalil Alquran yang dijadikan landasan adalah firman Allah: dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. (QS. Al-Baqarah (2): 222) Adapun dalil dari sunnah adalah narasi Anas, bahwa menurut tradisi orang-orang Yahudi jika seorang wanita mengalami haid, maka mereka mengusirnya dari rumah tanpa memberinya makan maupun minum, dan tidak menyenggamainya di dalam rumah. Ketika Nabi saw. diminta konfirmasi mengenai hal tersebut, serta-merta turunlah ayat:
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
 
Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: “Haid itu adalah suatu kotoran”. Oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri. (QS. Al-Baqarah (2): 222)
  Nabi saw. pun kemudian bersabda, Berbuatlah apa saja dengannya kecuali hubungan seksual.
Imam An-Nawawi menjelaskan: Jika ada orang muslim yang meyakini bahwa menyenggamai wanita yang sedang haid di kemaluannya adalah halal, maka ia telah kafir dan murtad dari Islam. Akan tetapi, jika ia melakukannya tanpa menyakini kehalalannya, atau menghalalkannya karena lupa, atau karena tidak tahu keharamannya maka ia tidak berdosa dan juga tidak terkena kaffarat (denda). Adapun jika ia menyetubuhinaya secara sengaja, atas inisiatif sendiri dan ia sudah mengetahui keharamanya, maka ia telah melakukan perbuatan dosa besar, dan menurut kesepakatan ulama ia wajib bertaubat. Bahkan menurut mayoritas ahli fiqh ia juga disunnahkan untuk bersedekah satu dinar jika pada saat bersetubuh darah haid berwarna hitam, dan bersedekah setengah dirham jika darahnya berwarna kuning. Ketentuan ini dinyatakan oleh kalangan ulama mazhab Hanafi, Maliki, Imam Asy-Syafi’i dalam versi riwayat yang paling shahih, dan Ahmad, berdasarkan hadis narasi Ibnu Abbas bahwasanya Nabi saw. bersabda pada orang yan menyenggamai istrinya sewaktu ia sedang haid agar ia bersedekah satu dinar atau setengah dinar.
  Sedangkan menurut Ibnu Ayyasy, Al-Auza’i, Ishaq (bin Rahawaih), Imam Ahmad dalam versi riwayat yang lain, dan Imam Asy-Syafi’i dalam qaul qadim, pelaku wajib -tidak sunnah- bersedekah menurut ketentuan yang telah disebutkan.
 Pertama, haram. Hal ini dinyatakan oleh Imam Abu Hanifah, Abu Yusuf, Imam Malik, Sa’id bin Al-Musayyab, Thawus, Atha’, dan kalangan ulama mazhab Syafi’i dalam versi yang shahih.
 Mereka berpegang pada dalil-dalil sebagai berikut.
a.     Hadis narasi Abdullah bin Said, bahwasanya ia pernah bertanya pada Rasulullah saw. “Apa yang halal bagiku dari istriku ketika ia sedang haid?” Beliau menjawab, “Kau boleh mencumbunya di atas izar (kain bawahan –di atas pusar).”
b.    Haid narasi Zaid bin Aslam, bahwasanya ada seorang laki-laki yang bertanya pada Nabi saw. “Apa yang halal bagiku dari istriku ketika ia sedang haid?” Beliau menjawab, “Hendaklah ia mengencangkan kain bawahannya, dan kau boleh menikmati bagian atasnya.” (Dilansir oleh Malik dan Ad-Darimi).
Jika laki-laki diharamkan mencumbu istrinya yang sedang haid di bagian pusar ke bawah maka si istri juga diharamkan memberikan peluang kepada suaminya untuk mencumbunya di daerah tersebut, apalagi ia aktif mencumbui sang suami dengan bagian tubuhnya di bawah pusar.
Kedua, boleh, namun makruh tanzih. Hal ini dinyatakan oleh Ats-Tsauri, Al-Auza’i, Imam Ahmad, Abu Dawud Azh-Zhahiri, Muhammad bin Hasan, dan Asbagh Al-Maliki, merujuk sabda Rasulullah saw. “Berbuatlah apa saja dengannya kecuali hubungan seksual.” Argumentasinya ini ditanggapi kelompok pertama bahwa ini memang membolehkan, namun dalil yang mereka kemukakan melarang, dan –menurut ketentuan teori hukum Islam sesuatu yang melarang didahulukan daripada sesuatu yang membolehkan.
Ketiga, kondisional. Artinya, jika suami mampu mengendalikan dirinya untuk tidak melakukan penetrasi ke dalam vagina maka ia diperbolehkan. Namun, jika tidak mampu maka ia tidak diperbolehkan.

B.      Hal-hal yang disunnahkan

     Maka tampak jelas sebenarnya ada banyak amalan yang tidak terlarang untuk dilakukan. Seperti antara lain:
1.      Berdzikir
Hakikat sholat adalah untuk berdzikir kepada Allah. Tapi larangan sholat tidak berarti terlarang untuk berdzikir kepada Allah. Berdzikir bisa menjadi amalan pengganti sholat agar kita bisa mendulang pahala sebanyak-banyaknya saat haid. Berdzikir sendiri diperlukan oleh wanita haid karena wanita yang sedang berhalangan biasanya memiliki mood yang tidak stabil. Dengan dzikir, maka hati akan tenang. Sehingga ketidak-stabilan mood bisa diredam.
2.      Bersedekah dan Memberi Makan Orang Miskin
Haid menghalangi muslimah untuk berpuasa. Penggantinya, bisa saja kita membatalkan “puasa” orang miskin yang lapar karena ketidak-punyaannya. Hikmah puasa salah satunya adalah agar kita merasakan apa yang dirasakan oleh orang yang tidak punya. Dengan begitu, akan memicu diri kita untuk bersimpati dan mencoba berbagi dengan mereka. Bila kita terbiasa berpuasa sunnah, maka saat haid kita bisa mengaplikasikan hikmah puasa tersebut.
3.      Menjaga Kebersihan
Karena hadits yang sudah kita hafal, bahwa kebersihan itu sebagian dari iman, maka tidak ada alasan untuk tetap menjaga kebersihan saat mandi wajib dan berwudhu’ terlarang. Mandi biasa yang tidak diniatkan untuk membersihkan hadats besar tentu tidak terlarang dilakukannya. Dan mandi yang asal hukumnya mubah itu tentu bisa menjadi berpahala manakala kita niatkan untuk beribadah kepada Allah. Karena itu, menjaga niat menjadi penting. Selalu hadirkan niat kebaikan pada amalan-amalan mubah sekalipun, agar kita selalu mendulang pahala.
4.      Belajar ilmu agama
Seperti membaca buku-buku Islam. Sekalipun di sana ada kutipan ayat Al-Quran, namun para ulama sepakat itu tidak dihukumi sebagaimana Al-Quran, sehingga boleh disentuh.
5.      Mendengarkan ceramah, bacaan Al-Quran atau semacamnya.

Nifas


Nifas
  1. Pengertian
       Nifas menurut bahasa berarti persalinan. Sedangkan menurut istilah, terdapat perbedaan ulama’, diantaranya:
1)   Imam Maliki
Darah nifas adalah darah yang dikeluarkan dari rahim yang disebabkan persalinan, baik ketika bersalin maupun sesudah bersalin, dan bukan sebelumnya.
2)   Imam Hambali
Darah nifas adalah darah yang keluar bersama keluarnya anak, baik sesudahnya maupun sebelumnya, dua atau tiga hari dengan tanda-tanda akan melahirkan.
3)   Imam Syafi’i
Darah nifas adalah darah yang keluar sesudah melahirkan, buka sebelumnya dan bukan pula bersamaan.
4)   Imam Hanafi
Darah nifas adalah darah yang keluar setelah melahirkan, atau yang keluar ketika sebagian besar tubuh anaknya sudah keluar. Sedangkan kalau darah itu sebelum melahirkan, atau darah yang keluar ketika tubuh anaknya baru sebagian kecil yang keluar, maka ia tidak dinamakan darah nifas.


  1.  Masa Nifas
Tidak ada batasan minimal bagi wanita yang nifas menurut pendapat tiga imam, begitu juga menurut kalangan ulama mazhab Hanafi dalam konteks ibadah, sedangkan dalam konteks adat, Abu Hanifah menyatakan bahwa batas minimalnya adalah 25 hari, sementara Abu Yusuf menyatakan 11 hari, dan Muhammad Asy-Syaibani mematok satu jam (sesaat).
Atas dasar ini, nifas dapat terjadi hanya sebentar saja. Jika seseorang wanita melahirkan kemudian darahnya terhenti seiring dengan lahirnya si bayi, atau bahkan melahirkan tanpa mengeluarkan darah, maka habislah waktu nifasnya dan sebagai konsekuensinya ia wajib melakukan semua yang dilakukan oleh orang yang suci, yaitu puasa, shalat, dan lain sebagainya.[1]
Adapun batas maksimalnya adalah 40 hari. Pendapat ini dinyatakan oleh Imam Hambali dan Hanafi. Mereka beragumentasi dengan hadits Abu Sahl Katsir bin Ziyad Al-Aslami dari Missah dari Ummu Salamah, ia bercerita: Ibu-ibu yang habis melahirkan pada masa Nabi Muhammad SAW duduk-duduk (tanpa melakukan ibadah) setelah persalinannya selama empat puluh hari atau empat puluh malam.
At-Tirmidzi mengatakan: para ahli ilmu dari kalangan sahabat Nabi, tabi’in dan generasi setelah mereka menyatakan bahwa wanita yang nifas boleh meninggalkan shalat selama 40 hari kecuali jika ia telah suci dari nifas sebelum waktu tersebut, maka ia harus mandi dan melaksanakan shalat. Jika ia tetap melihat darah setelah 40 hari, maka kebanyakan ahli ilmu mengatakan hendaklah ia tidak meninggalkan shalat setelah 40 hari.
Sementara itu, di sisi lain, kalangan ulama madzab Maliki dan madzab Syafi’i berpendapat bahwa batas maksimal nifas adalah 60 hari. Pendapat ini juga diriwayatkan dari Asy-Sya’bi dan Atha. Al-Hasan Al-Bashri mengatakan: batas maksimal nifas adalah 50 hari.
Pendapat yang diunggulkan dalam hal ini adalah pendapat pertama yang mengatakan bahwa batas maksimal nifas adalah 40 hari. Hadits yang dijadikan sebagai sandaran oleh pengusung pendapat bini memiliki hadits penguat, yakni hadits narasi Utsman bin Abu Al-‘Ash, ia berkata Rasulullah memberi rentang waktu empat puluh hari bagi ibu-ibu nifas dalam menjalani nifas mereka.[2]


[1] Abdul Aziz Muhammad Azzam, Abdul Wahhab Sayyed Hawwas. Fiqh Ibadah (Thaharah, Shalat, Zakat, Puasa dan Haji. hlm. 129
[2] HR. Al-Hakim (1/175), Ad-Daruquthni, dan Ath-Thabrani.

Haid


Haid
a. Pengertian
Haid menurut bahasa adalah mengalir. Sedangkan menurut istilah haid adalah darah yang keluar dari rahim dinding seorang wanita apabila telah menginjak masa baligh. Haid dijalani oleh seorang wanita pada masa-masa tertentu, paling cepat satu hari satu malam dan paling lama lima belas hari.

b. Masa Haid
Ulama berbeda pendapat tentang batas maksimal dan minimal haid.
Pendapat yang masyhur di kalangan ulama Hanafiyah mengatakan bahwa tempo minimal adalah tiga hari tiga malam. Sedangkan menurut Abu yusuf, dua hari dan paling lama tiga hari. Hasan meriwayatkan dari Abu Hanifah, tiga hari dua malam. Batas maksimal sepuluh hari beserta malamnya, tanpa ada perbedaan dalam mazhab.
Pendapat ini didasarkan pada sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Umamah, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Masa haid paling lama untuk perawan ataupun janda adalah tiga hari, sedangkan masa paling lama adalah sepuluh hari. (HR. Tabarani dan Daruquthni).
        Menurut Imam Syafi’i dan Imam Hanbali, masa haid paling cepat adalah satu hari satu malam, masa standar (pada umumnya) enam atau tujuh hari, sedangkan masa paling lama adalah lima belas hari lima belas malam. Bila lebih dari itu, maka darah yang keluar dari kelamin wanita tersebut dianggap sebagai darah istihadhah. Pendapat ini sesuai dengan perkataan Ali bin Abi Thalib ra., “Masa haid paling cepat adalah satu hari satu malam, dan bila lebih dari lima belas hari maka darah yang keluar menjadi darah istihadhah.”
        Menurut Imam Malik, masa haid paling cepat adalah sekejap saja. Oleh karena itu, bila seorang wanita mendapatkan haid meskipun hanya dalam sekejap itu, maka puasa, shalat dan thawafnya batal.
        Tidak ada batas minimal ataupun batas maksimal haid. Jadi, selama keluar darah atau selama masih ada darah, maka darah itu dianggap sebagai darah haid. Karenanya, wanita yang mengalaminya tidak dibolehkan shalat dan puasa. Pendapat ini merupakan pendapat Ad-Darimi yang diikuti oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Pendapat ini didasarkan pada firman Allah swt., “Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: “Haid itu suatu kotoran”. Oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci.(QS. al-Baqarah [2]: 222). Dalam ayat ini, yang dijadikan Allah sebagai batas akhir larangan adalah kesucian, bukan berlalunya sehari-semalam, ataupun tiga hari, ataupun lima belas hari. Hal ini menunjukkan bahwa illat (alasan) hukumnya adalah haid, yakni ada atau tidaknya. Jadi, jika ada haid berlakulah hukum itu dan jika telah suci (tidak haid) tidak berlaku lagi hukum-hukum haid tersebut.

 Berkata yang Baik Mengaji ( ilmu bermanfaat)   ▶ Ada Perubahan ▶ Akhlak Baik (Sedekah, Sabar,  Berkata baik)  Jika Allah yang menyuruh, mak...